Jumat, 07 Agustus 2009

WO. Ngesti Pandwa Tempatku Kiprah

Ngesti Pandowo
Bertahan dalam Keterbatasan
Senin, 12 Januari 2009 | 23:03 WIB

GEDUNG pertunjukan Ki Narto Sabdho, Senin (12/1) siang itu tampak hening. Tak terdengar aktivitas latihan kesenian ataupun suara musik karawitan di panggung tempat grup wayang orang Ngesti Pandowo ini biasa melakukan pertunjukan.

"Kami memang tidak pernah latihan lagi, tetapi langsung tampil. Latihan hanya membuat biaya operasional kami membengkak," kata Cicuk Sastrosoedirdjo (52), pimpinan grup wayang orang Ngesti Pandowo.

Cicuk sebenarnya prihatin dengan kondisi ini. Namun daripada latihan, dia lebih menekankan pentingnya tampil secara kontinu di depan publik agar Ngesti Pandowo tetap bergaung di Semarang." Kami hanya ingin Ngesti Pandowo tetap eksis sampai kapan pun," katanya dengan nada agak pesimistis.

Meskipun semangat keseniannya berkobar, Cicuk tahu benar kondi si kelompok wayang orang yang didirikan sejak 1937 ini memang sedang diterpa krisis, baik finansial maupun regenerasi.

Namun setidaknya, dengan 85 anggota yang terdiri atas 45 pemain wayang orang, 15 pemain karawitan, dan sisanya adalah pembantu umum, Ngesti Pandowo masih berusaha tetap mendapat ruang di hati penikmat seni Semarang. Mereka tetap pentas setiap Sabtu malam, walaupun tidak pernah untung.

Sejak menghuni gedung Ki Narto Sabdho kompleks Taman Budaya Raden Saleh tujuh tahun lalu, Ngesti Pandowo memang selalu merugi. Pendapatan mereka dari uang tiket tidak pernah sepadan dengan biaya operasional yang dikeluarkan.

Sebagai gambaran, penampilan Ngesti Pandowo yang membawakan lakon Jagal Abilowo pada Sabtu 10 Januari lalu, hanya dihadiri 40 penonton. "Dengan harga tiket Rp 10.000 per penonton, kelompok wayang orang ini hanya menghasilkan Rp 400.000 dan mesti mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp 3.392.000. Padahal, rata-rata penonton hanya 50 orang per sekali pentas," kata Cicuk.

Untuk sekali pentas, para anggota Ngesti Pandowo memperoleh bayaran Rp 30.000-Rp 60.000, tergantung peran dan tanggung jawabnya. Jika sebulan terdapat empat kali pentas, maka gaji para pendekar kesenian itu hanya Rp 120.000-Rp 240.000.

Tak heran, sebagian besar anggota kelompok wayang orang yang pernah jaya pada era 1970-an ini, memiliki pekerjaan lain seperti pedagang, pegawai negeri sipil, swasta, atau mahasiswa.

Widayat (41), sutradara kelompok Ngesti Pandowo, bahkan mesti mengajar tari di sekolah-sekolah untuk membiayai hidupnya dan keluarga. Saya pernah ditawari jadi PNS, tetapi tidak mau. "Karena saya ingin terus berkarya di Ngesti Pandowo, maka saya mencari nafkah juga dari kesenian," ucapnya.

"Untuk bisa menarik hati penonton, Widayat dan Cicuk mengaku mesti menyiasatinya dengan berbagai cara. Lakon yang kami bawakan sekarang cenderung mengikuti pasar. Harus disesuaikan dengan perkembangan," kata Widayat yang orangtuanya juga pemain Ngesti Pandowo generasi kedua.

Regenerasi

Tak hanya soal masalah keuangan, Ngesti Pandowo juga ketar-ketir soal regenerasi. Hingga kini, grup ini sudah sampai generasi keenam. Dan, sebagian besar anggotanya diwarisi secara turun temurun oleh orangtua mereka. "Kami masih kesulitan mencari anggota dari luar garis keluarga yag ada di Ngesti Pandowo. Soalnya, sudah jarang yang tertarik terjun di kesenian tradisional," ucap Widayat.

"Wajar saja, jika Widayat dan Cicuk sudah membina anak-anak mereka agar mencintai kesenian Wayang Orang sejak dini. Setiap kali ada pertunjukan, saya selalu membawa anak saya yang berusia 5 tahun untuk nonton," kata Widayat.

Cicuk bahkan sudah mengajari anaknya, Danu Ismanto Putro (14), peran di sebagian lakon yag dimainkan Ngesti Pandowo. "Anak-anak ini harus bisa meneruskan Ngesti Pandowo ke depannya," katanya.

Sejak berdiri 71 tahun lalu, Ngesti Pandowo sempat tampil keliling ke berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa T imur, DI Yogyakarta, dan Jakarta hingga tahun 1953. Setahun kemudian, Wali Kota Semarang saat itu, Hadi Subeno, memfasilitasi grup ini agar bisa tampil setiap hari di hadapan publik. Tempat itu diberi nama Gedung Rakyat Indonesia Semarang (Graise), yang terletak di Jalan Pemuda.

"Ketika menghuni gedung inilah, Ngesti Pandowo sempat jaya hingga akhir 1970-an. Bahkan, kesejahteraan anggotanya dijamin oleh kelompok ini. Untuk sekolah anak saja dibayari oleh Ngesti," kata Widayat diamini Cicuk.

Namun kini, kelompok wayang orang yang dirintis oleh lima tokoh kesenian Jawa Tengah saat itu, antara lain Ki Kusni, Ki Narto Sabdho, Ki Sastro Sabdho, Ki Darso Sabdho, dan Ki Sastro Soedirdjo, tengah berjuang menghadapi perkembangan zaman. Perkembangan yang menghidupi gemerlapnya budaya modern dan perlahan meninggalkan kesenian tradisional. (ILO)

Tidak ada komentar: