Senin, 24 Agustus 2009

Malaysia = Maling Budaya Indonesia

Seniman Bali Protes Klaim Tari Pendet Oleh Malaysia

Seniman Bali Protes Klaim Tari Pendet Oleh Malaysia

Masyarakat, seniman Bali dan sesepuh penari Bali memprotes klaim Malaysia atas tari pendet. Mereka meminta Malaysia untuk segera mencabut tari pendet dari iklan pariwisata megri jiran tersebut.

Protes ini mereka tuangkan dalam sebuah pegelaran tari pendet di Art Center, Jl Nusa Indah, Denpasar, Bali, Sabtu (22/8/2009).

Tampak hadir dalam pagelaran itu, I Wayan Dibia, dan Luh Arini penggubah tari pendet versi tontonan. Hadir pula Anggota DPD RI asal Bali Ida Ayu Agung Mas.

"Kita prihatin asal diklaimnya tari pendet yang berasal dari Bali oleh Malaysia. Kami anggota DPD, masyarakat, seniman dan sesepuh penari Bali meminta agar Malaysia mencabut tari pendet dalam iklan-iklan mereka," ujar Ida Ayu Agung Mas di sela-sela aksi.

Menurut Ida Ayu, dalam waktu dekat pihaknya melayangkan protes pada Malaysia melalui DPD RI dan pemerintah RI.

"Masyarakat Bali siap membantu pemerintah untuk mendata ulang berbagai kesenian yang ada di Indonesia," ungkapnya.

Dalam pagelaran tersebut, Luh Arini tampil membawakan tarian pendet bersama dengan dua penari cilik. Puluhan pengunjung art center, tampak antusias menyaksikan pagelaran ini.

71 users recommend

Selasa, 11 Agustus 2009

Singosari Cikal Bakal Majaphit

Kamis, 30/07/2009 16:55 WIB

Perumahan Elit Kuno Kerajaan Singosari Ditemukan
Muhammad Aminudin - detikSurabaya


Perumahan Elit Kerajaan Singosari/M Aminudin
Malang - Pusat Penelitian Dan Pengembangan (Puslitbang) Balai Arkeologi Nasional menemukan perumahan elite kuno zaman Kerajaan Singosari. Kini tim masih melakukan pemetaan terhadap temuan yang berada di Dusun Bungkuk, Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Malang.

Proses penggalian sendiri dilakukan sejak 22 Juli 2009 tepatnya di arah timur barat Kompleks Candi Singosari. Dari dua titik penggalian ditemukan sejumlah barang peninggalan abad 10 -13 masehi Dinasti Shung.

Diantaranya, uang kepeng dari perunggu, serpihan tembikar, guci, wowong atau atap rumah, teko, keramik porselen, gacuk, mangkok, cepuk mirip wadah bedak, cucuk atau kendi yang semuanya peninggalan zaman Dinasti Shung abad 10 - 13.

Menurut Ketua Tim Puslitbang Balai Arkeologi Nasional Amelia mengatakan, berdasarkan temuan ini dapat disimpulkan bahwa daerah atau kawasan ini merupakan kompleks atau perumahan elit pada zaman Kerajaan Singosari pada abad 10 sampai masehi.

"Barang-barang yang kita temukan ini hanya dimiliki oleh masyarakat dari kalangan atas atau elite. Bukan milik dari masyarakat biasa," ujarnya saat ditemui di lokasi, Kamis (30/7/2009).

Dalam ekskavasi melibatkan delapan orang ini tim melakukan penggalian di atas lahan seluas empat meter dengan kedalaman satu meter. Mereka juga membersihkan lumpur dan kotoran pada benda kuno yang ditemukan setelah penggalian (eskavasi) situs permukiman zaman Kerajaan Singosari. Struktur batu bata juga kembali ditemukan merupakan kompleks hunian masyarakat. Sebelumnya, ekskavasi telah dilakukan tahun 2002 di lokasi yang sama.

Sementara informasi yang dihimpun, dalam penggalian itu tim peneliti menemukan benda kuno di kompleks tersebut berupa berupa batu ambang pintu, umpak, batu candi, dan arca dari batu andesit di kedalaman 3 meter. Saat itu juga ditemukan batu bata berukuran 20 x 30 x 6 cm.

"Semua temuan telah kita lakukan pendataan dan membersihkan. Agar kita mudah dalam meneliti barang-barang tersebut," imbuh Amelia.

"Rumah kalangan menengah ke bawah terbuat dari gedhek (anyaman bambu)," kata Ketua tim peneliti permukiman kuno zaman Kerajaan Singosari.

Sampai kini peneliti belum berhasil menemukan lokasi istana kerajaan Singosari, karena penelitian tentang permukiman kuno belum dilakukan maksimal.

"Setelah kita menemukan permukiman kuno, baru kita dapat menemukan dimana letak istana kerajaan," ungkap Amelia.

Amelia menambahkan, dalam ekskavasi di Bungku ini, juga ditemukan lempengan batu adesit dan batu bata berukuran besar yang berserakan di halaman rumah-rumah warga.

Batu Adesit ini merupakan bekas reruntuhan 8 candi di sekitar Candi Singosari. Sedangkan batu bata ukuran 60 x 40 centimeter merupakan pondasi permukiman kuno.

Sementara untuk membedakan batu batu besar itu dibutuhkan uji laboratorium untuk mengetahui arang sekam yang melekat di batu bata. Agar diketahui jaman pada masa batu bata itu digunakan.(fat/fat)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Senin, 10 Agustus 2009

detikcom : Daripada Tidak Terurus, Biarkan Ada di Tangan Asing

title : Daripada Tidak Terurus, Biarkan Ada di Tangan Asing
summary : Naskah kuno milik Indonesia yang tersebar di seantero nusantara diperkirakan jumlahnya mencapai puluhan ribu. Dari jumlah itu hanya segelintir naskah yang sudah bisa diarsipkan Perpunas RI. Bahkan, ada naskah kuno yang berada di tangan asing. (read more)

Pengenalan Gamelan, Batik dan Wayang

Mengangkat Kembali Citra Warisan Budaya Indonesia
Pertunjukan gabungan gerak tari, teater dan musik dipersembahkan kelompok Marga Sari pimpinan Shin Nakagawa yang mengambil cerita dongeng "Momotaro" di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Pusat, Sabtu (23/8). Kelompok yang memadukan seni tradisi Jawa dan Jepang juga akan bermain di Yogyakarta dan Surabaya.
Senin, 3 November 2008 | 20:56 WIB

Oleh Desy Saputra

Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat luas memiliki beragam warisan budaya di berbagai wilayah dan memiliki ciri khasnya masing-masing.

Demikian banyaknya peninggalan berharga dari nenek moyang Bangsa Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain itu kadang membuat warisan budaya itu terabaikan dan bahkan nyaris punah ditelah derap langkah zaman yang semakin modern.

Di Kota Budaya, Solo, Jawa Tengah, kini muncul sebuah gerakan baru yang dipelopori sejumlah orang yang peduli akan pelestarian warisan budaya Indonesia khususnya Batik, Keris, Wayang, dan Gamelan.

Berkaitan dengan sebuah konferensi internasional yang digelar oleh Organisasi Kota-kota Warisan Dunia kawasan Eropa-Asia (Organization of World Heritage Cities-OWHC) di Solo pada 27-28 Oktober, sekelompok kecil orang-orang yang peduli akan pelestarian dan penjagaan warisan budaya itu menggelar ekspo dan workshop warisan budaya berupa batik, keris, wayang, dan gamelan.

Acara ini berlangsung mulai 28-31 Oktober di Halaman Pura Mangkunegaran, Solo. Slamet Raharjo, manajer ekspo, mengatakan workshop menekankan pada pentingnya pengetahuan masyarakat terhadap batik, gamelan, keris, wayang, yang merupakan peninggalan atau warisan budaya berbentuk.

"Lebih jauh lagi adalah pemahaman filosofi dan simbol-simbol yang ada di dalam benda warisan budaya itu," katanya.

Keris juga memberi inspirasi karya warisan budaya lainnya, yakni batik. Dalam visual ragam batik terdapat motif keris yang telah distilasi seperti jenis motif parang, modang, udan liris, dan lain sebagainya. Dalam dunia kesenian keris juga menjadi kelengkapan busana sekaligus senjata perang, sepeti dalam kesenian wayang orang, wayang kulit, kethoprak, dan seni tari.

"Bahkan dalam tokoh pewayangan, keris menjadi pandel atau kekuatan mengalahkan musuh," katanya.

Gamelan

Guru Besar sejarah Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Prof. Dr. Rustopo, S. Kar., M.S mengatakan gamelan merupakan salah satu unsur musikal pokok dalam seni karawitan. Masyarakat etnomusikologis dan praktisi seni karawitan di Barat menggunakan istilah gamelans elain tuntuk menyebut alat musik, juga untuk menunjuk budaya, pengetahuan, dan praktik karawitan.

Terkait pembuatan gamelan, Rustopo dalam tulisannya untuk panduan ekspo menjelaskan bahwa instrumen-instrumen gamelan seperti gong, bonang, saron, dibuat dari bahan logam. Teknologi pembuatan instrumen gamelan itu tampaknya diwariskan secara turun temurun hingga saat ini, yakni dengan membakar dan menempa.

Teknologi tersebut memang seolah tertinggal jauh dari zaman yang semakin modern ini, namun menurut Rustopo cara yang tradisional itu terbukti mampu menghasilkan kualitas produk yang belum tertandingi sampai sekarang.

Proses pembuatan gamelan diawali dengan menyampur dua bahan, yakni 10 bagian timah dan tiga bagian tembaga dalam keadaan cair atau panas kemudian dimasukkan cetakan awal yang disebut kowi. Setelah membeku (dingin, red), bahan dengan bentuk awal itu dipanaskan dan ditempa tahap demi tahap. Setiap penempaan, bahan itu selalu dalam keadaan panas membara.

Menurut Rustopo untuk pembuatan instrumen kecil cukup ditangani dua orang, sedangkan untuk instrumen gong yang berdiameter 90cm ditangani sedikitnya oleh empat orang.

Sekarang ini dengan adanya bantuan peralatan modern seperti "blower" atau penghembus angin, pembuatan sebuah instrumen gong dapat diselesaikan dalam waktu satu hati atau sekitar 8-9 jam kerja. Di Solo, pusat pembuatan gamelan ini terutama ada di Kecamatan Majalaban dan Kota Surakarta.

Walikota Surakarta, Joko Widodo dalam sebuah kesempatan disela-sela pelaksaaan konferensi internasional OWHC Asia-Eropa pernah mengungkapkan worksop dan ekspo semacam ini perlu untuk digalakkan di tengah kehidupan masyarakat yang semakin modern. Bukan untuk menoleh kembali ke belakang, namun warisan budaya asli Indonesia ini harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaannya.

"Harapannya adanya kegiatan semacam ini menjadi momentum tumbuhnya kesadaran kita semua terhadap pentingnya warisan budaya bagi peradaban manusia," demikian ujar Jokowi, panggilan akrab sang walikota.



Sumber : Ant

Asal Muasal Sastra Indonesia

Indonesia Dimulai dari Minang
Seorang gadis Minangkabau, Sumatera Barat, mengenakan pakaian tradisional berdiri di depan jendela di Rumah Gadang, rumah tradisional masyarakat Minangkabau.
Sabtu, 15 November 2008 | 15:10 WIB

JAKARTA, SABTU - Bahasa dan sastra Indonesia berutang pada kepandaian orang Minang di awal terbentuknya semangat kebangsaan. Tidak banyak orang melihat alasan mengapa kepandaian itu berawal dari putra-putri yang lahir dari Sumatera Barat.

Sastrawan dan ahli bahasa Remy Sylado mengatakan hal itu pada seminar "Menumbuhkembangkan Bakat dan Menulis Karya Sastra di Ranah Minang," Sabtu (15/11) di Jakarta Convention Center.

"Dalam peta kesastraan Indonesia, tak ada yang tak kenal dengan nama Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhammad Yamin, Usmar Ismail, Asrus Sani, dan seterusnya. Kepandaian itu berawal dari putra-putra yang lahir dari Sumbar, karena terjaganya sendi budaya Minang dalam tindak-tanduk manusianya," katanya.

Menurut Remy, jika sejumlah nama pesastra yang disebut itu sudah marhum, maka kelak kita harus menyebut nama-nama lain yang kini tengah berkibar: Jose Rizal Manua, Gus tf Sakai, ES Ito, dan seterusnya. Namun, di luar itu, nama-nama harus dalam sejarah perjuangan, yang harus disebut takzim, tentulah pertama Imam Bonjol dan kedua Mohammad Hatta. Keduanya menulis puisi.

"Artinya, keduanya mesti dipandang sebagai pelaku kebudayaan, di luar dari bacaan sejarah sebagai pemimpin perang dan proklamator kemerdekaan Indonesia," tandasnya.

Remy berpendapat, awut-awutannya bahasa Indonesia sekarang karena sastranya tidak mendapatkan apresiasi semadyanya. Usaha Taufiq Ismail sejak "Ketika Kata Ketika Warna" sampai dengan buku-buku seri prosa, puisi, esai, merupakan contoh tanggung jawab pesastra Indonesia --baca orang Minang-- terhadap kebudayaan bangsa Indonesia.

"Melalui Ranah Minang kita kembalikan bahasa Indonesia lewat sastra sebagai piranti tamadun kita," tandas Remy Sylado.


Yurnaldi

Kesenian Tradisional Kapan Mendapat Perhatian lebih

Tari Klasik Minim Peminat
Senin, 2 Februari 2009 | 02:42 WIB

BANDUNG, SABTU - Tarian klasik Jawa Barat minim peminat dan jarang ditampilkan. Padahal, tarian klasik sangat kaya warisan budaya dan media baik menanamkan dasar penguasaan seni tari.

Demikian dikatakan Ketua Sanggar Tari Studio 93, Dede Sri Hartati di selasela pementasan tari klasik dan nusantara bertajuk Gurilang Parahyangan di Taman B udaya Jawa Barat di Bandung, Sabtu (31/1). Beberapa tari klasik yang dibawakan antara lain Tari Sulintang, Anjasmara, dan Kandagan.

Menurut Dede, minat masyarakat pada seni klas ik semakin berkurang. Alasannya, gerakan dalam tari klasik dianggap terlalu ketat dan kaku sehingga peminatnya pun semakin berkurang . Akibatnya, dalam berbagai kegiatan masyarakat atau upacara kesenaian tertentu, baik masyarakat atau instansi pemerintah lebih memilih mementaskan tarian kontemporer. Tarian kontemporer dianggap lebih mudah dibawakan dan akrab dengan masyarakat penikmat seni.

Ia mencontohkan beberapa tarian klasik yang jarang ditampilkan. Diantaranya Tari Jayengrana dari Sumedang. Tari ini merupakan salah satu tari kl asik yang lazim disajikan di Kasultanan Sumedang Larang. Di masa jayanya, tarian ini sakral dan tidak sembarang orang menarikannya. Hanya kalangan kasultanan atau orang-orang yang memenuhi persyaratan boleh menarikannya, seperti kewajiban puasa dan tirakat .

Selain itu ada juga Tari Sulintang yang biasa dibawakan beberapa daerah Jabar, diantaranya Bandung. Tarian ini biasa dibawakan putri keturunan ningrat Jawa Barat.

Hal ini menurut Dede sangat disayangkan. Dari sisi warisan budaya, banyak pesan penting tentang kehidupan dan rasa syukur yang coba diungkapkan tari klasik, terutama kalangan ningrat.

"Ironis. Dulu seseorang sangat bangga bila punya kesempatan belajar tari klasik. Saat ini, di saat semua bisa menarikannya, sangat sedikit masyarakat yang mempelajarinya," katanya.

Selain itu dari segi pendidikan tari, tarian klasik sangat ideal sebagai media belajar. Alasannya, dengan penekanan kuat pada dasar menari seperti gerakan kaki, tangan, atau pundak, bisa menjadi bekal baik bagi penari untuk mengembangkan banyak tarian baru.

"Bagi mereka yang ingin belajar tari kontemporer bila dasar tari kla siknya sudah baik biasanya tidak akan banyak kesulitan. Namun, bila awalnya langsung menguasai tari kontemporer biasanya akan kesulitan dan memerlukan waktu lama belajar tari klasik, " katanya.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, Herdiawan Iing Suranta, perhatian dan apresiasi pada seni tradisi dan klasik Jabar memang harus ditingkatkan. Alasannya, semakin diabaikan maka banyak kesenaian tradisional yang akan hilang, termasuk seni tari.

Oleh karena itu, salah satu cara yang akan dilakukan Jabar dengan mengajak pemerintah daerah atau badan koordinasi wilayah di Jabar memberikan ruang bagi kesenaian tradisional untuk berkembang. Diantaranya menjadi tuan rumah pementasan seni tradisi.

"Dukungan tempat berkreasi sangat penting bagi seni tradisional. Dengan semakin sering dipentaskan pasti semakin banyak masyarakat yang akrab dan kemudian mempelajarinya, " katanya.


CHE

Jumat, 07 Agustus 2009

WO. Ngesti Pandwa Tempatku Kiprah

Ngesti Pandowo
Bertahan dalam Keterbatasan
Senin, 12 Januari 2009 | 23:03 WIB

GEDUNG pertunjukan Ki Narto Sabdho, Senin (12/1) siang itu tampak hening. Tak terdengar aktivitas latihan kesenian ataupun suara musik karawitan di panggung tempat grup wayang orang Ngesti Pandowo ini biasa melakukan pertunjukan.

"Kami memang tidak pernah latihan lagi, tetapi langsung tampil. Latihan hanya membuat biaya operasional kami membengkak," kata Cicuk Sastrosoedirdjo (52), pimpinan grup wayang orang Ngesti Pandowo.

Cicuk sebenarnya prihatin dengan kondisi ini. Namun daripada latihan, dia lebih menekankan pentingnya tampil secara kontinu di depan publik agar Ngesti Pandowo tetap bergaung di Semarang." Kami hanya ingin Ngesti Pandowo tetap eksis sampai kapan pun," katanya dengan nada agak pesimistis.

Meskipun semangat keseniannya berkobar, Cicuk tahu benar kondi si kelompok wayang orang yang didirikan sejak 1937 ini memang sedang diterpa krisis, baik finansial maupun regenerasi.

Namun setidaknya, dengan 85 anggota yang terdiri atas 45 pemain wayang orang, 15 pemain karawitan, dan sisanya adalah pembantu umum, Ngesti Pandowo masih berusaha tetap mendapat ruang di hati penikmat seni Semarang. Mereka tetap pentas setiap Sabtu malam, walaupun tidak pernah untung.

Sejak menghuni gedung Ki Narto Sabdho kompleks Taman Budaya Raden Saleh tujuh tahun lalu, Ngesti Pandowo memang selalu merugi. Pendapatan mereka dari uang tiket tidak pernah sepadan dengan biaya operasional yang dikeluarkan.

Sebagai gambaran, penampilan Ngesti Pandowo yang membawakan lakon Jagal Abilowo pada Sabtu 10 Januari lalu, hanya dihadiri 40 penonton. "Dengan harga tiket Rp 10.000 per penonton, kelompok wayang orang ini hanya menghasilkan Rp 400.000 dan mesti mengeluarkan biaya operasional sebesar Rp 3.392.000. Padahal, rata-rata penonton hanya 50 orang per sekali pentas," kata Cicuk.

Untuk sekali pentas, para anggota Ngesti Pandowo memperoleh bayaran Rp 30.000-Rp 60.000, tergantung peran dan tanggung jawabnya. Jika sebulan terdapat empat kali pentas, maka gaji para pendekar kesenian itu hanya Rp 120.000-Rp 240.000.

Tak heran, sebagian besar anggota kelompok wayang orang yang pernah jaya pada era 1970-an ini, memiliki pekerjaan lain seperti pedagang, pegawai negeri sipil, swasta, atau mahasiswa.

Widayat (41), sutradara kelompok Ngesti Pandowo, bahkan mesti mengajar tari di sekolah-sekolah untuk membiayai hidupnya dan keluarga. Saya pernah ditawari jadi PNS, tetapi tidak mau. "Karena saya ingin terus berkarya di Ngesti Pandowo, maka saya mencari nafkah juga dari kesenian," ucapnya.

"Untuk bisa menarik hati penonton, Widayat dan Cicuk mengaku mesti menyiasatinya dengan berbagai cara. Lakon yang kami bawakan sekarang cenderung mengikuti pasar. Harus disesuaikan dengan perkembangan," kata Widayat yang orangtuanya juga pemain Ngesti Pandowo generasi kedua.

Regenerasi

Tak hanya soal masalah keuangan, Ngesti Pandowo juga ketar-ketir soal regenerasi. Hingga kini, grup ini sudah sampai generasi keenam. Dan, sebagian besar anggotanya diwarisi secara turun temurun oleh orangtua mereka. "Kami masih kesulitan mencari anggota dari luar garis keluarga yag ada di Ngesti Pandowo. Soalnya, sudah jarang yang tertarik terjun di kesenian tradisional," ucap Widayat.

"Wajar saja, jika Widayat dan Cicuk sudah membina anak-anak mereka agar mencintai kesenian Wayang Orang sejak dini. Setiap kali ada pertunjukan, saya selalu membawa anak saya yang berusia 5 tahun untuk nonton," kata Widayat.

Cicuk bahkan sudah mengajari anaknya, Danu Ismanto Putro (14), peran di sebagian lakon yag dimainkan Ngesti Pandowo. "Anak-anak ini harus bisa meneruskan Ngesti Pandowo ke depannya," katanya.

Sejak berdiri 71 tahun lalu, Ngesti Pandowo sempat tampil keliling ke berbagai kota di Jawa Tengah, Jawa T imur, DI Yogyakarta, dan Jakarta hingga tahun 1953. Setahun kemudian, Wali Kota Semarang saat itu, Hadi Subeno, memfasilitasi grup ini agar bisa tampil setiap hari di hadapan publik. Tempat itu diberi nama Gedung Rakyat Indonesia Semarang (Graise), yang terletak di Jalan Pemuda.

"Ketika menghuni gedung inilah, Ngesti Pandowo sempat jaya hingga akhir 1970-an. Bahkan, kesejahteraan anggotanya dijamin oleh kelompok ini. Untuk sekolah anak saja dibayari oleh Ngesti," kata Widayat diamini Cicuk.

Namun kini, kelompok wayang orang yang dirintis oleh lima tokoh kesenian Jawa Tengah saat itu, antara lain Ki Kusni, Ki Narto Sabdho, Ki Sastro Sabdho, Ki Darso Sabdho, dan Ki Sastro Soedirdjo, tengah berjuang menghadapi perkembangan zaman. Perkembangan yang menghidupi gemerlapnya budaya modern dan perlahan meninggalkan kesenian tradisional. (ILO)

WIstata Budaya Nusantara

Tradisi Budaya Masyarakat Penyangga Wisata Borobudur
Para penari jathilan tetap semangat meskipun diguyur hujan.
Jumat, 20 Februari 2009 | 02:15 WIB

BOROBUDUR, JAWA TENGAH, JUMAT--Kemasan yang menarik atas kegiatan tradisi budaya masyarakat sekitar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menjadi penyangga bagi upaya pengembangan kepariwisataan kawasan itu.

"Acara tradisi budaya masyarakat yang hingga kini terus hidup dan dihidupkan menjadi pendukung bagi pengembangan wisata Borobudur," kata pengelola salah satu komunitas masyarakat Borobudur, "Warung Info Jagad Cleguk" (WIJC), Sucoro, di Borobudur, Kamis.

Tradisi budaya masyarakat, katanya, perlu mendapatkan penguatan supaya bisa berkolaborasi dalam kegiatan kepariwisataan di kawasan Candi Borobudur.

Ia menyebutkan sejumlah kegiatan tradisi tahuan masyarakat yang berlangsung di berbagai desa di sekitar candi Buddha yang terbesar di dunia itu antara lain "Ruwat Rawat Borobudur", "Sedekah Gunung", "Sedekah Punthuk Setumbu", "Ritual Gaib", "Ruwat Sengkolo", "Renungan Budaya Siwi", "Sedekah Sendang Suruh", dan "Tetesan".

Berbagai kesenian rakyat yang hingga kini masih dikembangkan masyarakat Borobudur, katanya, antara lain tarian "ndolalak", "ndayakan", "topeng ireng", "jathilan", "kuda lumping", "gatoloco", "slawatan", "kobro siswo", "strek rodat", dan "lengger".

"Mereka memperkaya budaya masyarakat Borobudur," katanya.

Sekitar enam tahun terakhir, katanya, WIJC memfasilitasi terbangunnya suatu jaringan masyarakat pedesaan sekitar Borobudur untuk menggali dan mengembangan tradisi budaya kawasan itu.

Pihaknya sedang menyiapkan rangkaian even budaya bertajuk "Gema Cita Budaya Bumi Sambhara" mulai tanggal 21 hingga 28 Februari 2009.

"Ada 25 grup kesenian rakyat yang akan menggelar pementasan di empat tempat yakni Desa Sambeng, Kebonsari, Giritengah, dan Borobudur," katanya.

Beberapa pementasan ritual dalam even itu adalah "Ritual Ondho Rante" (Borobudur), "Sedekah Kedong Winong" (Sambeng), "Sedekah Kali Bendo" (Kebonsari), dan wayang kulit (Giritengah).


JY
Sumber : Ant